Mu’jizat Besar Bernama Rosy

Mu’jizat Besar Bernama Rosy

\"dahlan_iskan_jpnn_23\"Buku Curhat Menantu Konglomerat (3) Oleh Dahlan Iskan Selesai membaca buku ini, terbayang oleh saya sosok Rosy Riyadi, isteri Tahir: betapa hebatnya wanita ini. Bisa membawakan diri begitu baiknya di antara dua pihak yang dicintainya: sang suami di satu pihak dan ayah beserta saudara kandungnya di pihak lain. Belum tentu satu juta orang bisa ada satu yang seperti Rosy. Saya membayangkan seperti apa body language Rosy di saat sang suami curhat kepadanya mengenai mertua yang tidak lain adalah ayah kandungnya. Tergambar di buku itu bahwa di satu pihak Rosy membenarkan penilaian suaminya mengenai karakter bapaknya. Tapi di sisi lain, apapun itu adalah bapaknya yang juga jadi idolanya. Hebatnya dalam suasana seperti itu rumah tangga Tahir-Rosy bisa bertahan sangat harmonis. Perkawinan itu kini sudah berumur 38 tahun. Sudah menghasilkan empat orang anak dan 11 cucu (4 laki-laki, 7 perempuan). Di buku itu Tahir memuji habis-habisan Rosy sebagai bidadari kiriman Tuhan. “Rosy itu isteri yang tidak pernah berbuat salah,” kata Tahir. “Satu-satunya kesalahan yang dia perbuat adalah kawin dengan saya,” tulis Tahir setengah bergurau, setengah merendah. Inilah bukti bahwa cinta abadi tidak harus muncul sejak sebelum perkawinan. Tahir-Rosy membuktikan cita abadi bisa muncul setelah perkawinan. Dan Tahir menilai keharmonisan itu berkat sikap Rosy yang istimewa. Rosy sama sekali tidak pernah menampilkan diri sebagai anak seorang konglomerat papan atas Indonesia. Kalau tidak ada nama Riyadi di belakangnya orang akan mengira dia gadis dari keluarga biasa. Yang juga istimewa, kata Tahir, Rosy mau menurunkan standar hidupnya mengikuti standar hidup saya. Sewaktu Tahir bisa membeli rumah di Slipi, Jakarta, hatinya masih belum tenang. Tahir membayangkan apakah isterinya, yang sudah terbiasa tumbuh dan berkembang di rumah seorang konglomerat, bisa menerima tinggal di rumah biasa. Tapi hati Tahir langsung mengembang mana kala melihat untuk pertama kalinya sang isteri memasuki rumah itu. Wajahnya berbinar. Tidak ada mimik terkejut atau ragu atau canggung sedikit pun. Bahkan di rumah biasa itu Rosy langsung menata sendiri segala perabotan dengan semangatnya. Juga bersih-bersih. Bahkan Rosy hanya mau ada satu pembantu saja di rumah itu. Terasa sekali Rosy bahagia mereka akan tinggal di rumah sendiri. Rosy seperti ingin menunjukkan itulah saatnya dia menjadi ibu dari sebuah rumah tangga yang mandiri. Tahir menduga sikap istimewa Rosy itu menurun dari ibunya, Ny. Mochtar Riyadi. Tahir memuji mertua perempuannya itu sebagai wanita yang istimewa di dalam keluarga besar Mochtar Riyadi. Mampu menjaga keseimbangan di antara sayap-sayap dalam keluarga itu. Tahir tidak lupa keberhasilannya mencapai gelar S-2 adalah berkat paksaan dari ibu mertua. “Tahir, semua menantu saya harus lulus S-2. Kamu harus kuliah lagi. Di Amerika. Saya yang membiayai,” ujar mertua perempuan itu seperti dikutip Tahir. Tahir mencatat ada tiga wanita hebat yang menentukan hidupnya. Tapi yang terutama adalah ibu dan isterinya. Dan yang di atas segala-galanya itu adalah ibunya. Ibunyalah, di samping yang mengandung dan melahirkan, adalah juga yang mendidiknya dengan keras. Ibunyalah yang menyiapkannya menjadi pedagang. Ibunyalah yang menjadi inspirasi dalam hidupnya. Karena itu foto sang ibu dia pasang secara khusus di lorong kantornya. Di posisi  yang mau tidak mau dia menatapnya saat memasuki kantornya. Setiap kali itu pula Tahir merasa mendapat tambahan semangat hidup. Bahkan, sang ibu, setelah ikut pindah ke Jakarta, diberinya kesibukan sebagai salah satu kepala cabang Bank Mayapada di Jakarta. Sampai sekarang. Saat usia beliau sudah 84 tahun. Cabang tersebut menjadi cabang terbaik di antara seluruh cabang Bank Mayapada di Indonesia. Kini, setelah jadi konglomerat papan atas Indonesia, Tahir dikenal begitu banyak memiliki kegiatan sosial. Termasuk yang bekerjasama dengan Bill Gate. Itu dia lakukan untuk memenuhi wasiat bapaknya, yang meninggal karena stroke lebih dari 20 tahun yang lalu. Wasiat itu diucapkan di tahun 1966. Saat nama Tahir ditetapkan oleh bapaknya sebagai pengganti namanya yang lama: Ang Tjoen Ming. Wasiat itu intinya: Tahir, namamu nama Indonesia. Hanya satu kata. Kamu lahir di Indonesia. Besar di Indonesia. Mendapat hidup dari Indonesia. Kamu adalah orang Indonesia. Dan akan mati di Indonesia. Mengabdilah untuk Indonesia. Sejak hari itu bapaknya, yang kelahiran Fujian, memanggilnya dengan nama Tahir. Mula-mula, karena belum terbiasa, nama Tahir diucapkan bapaknya dengan susah payah. Tapi lama-lama terbiasa: Tahir! Meski tidak pernah percaya pada ramalan, Tahir merasa keberuntungannya begitu banyak dalam hidupnya. Yakni ketika bertemu orang yang tidak disangka-sangka menolongnya. Seorang pejabat bea cukai di Singapura, tanpa dimintanya tiba-tiba menawarinya modal. Dirjen perdagangan luar negeri yang tanpa dia minta memberinya kuota ekspor garmen ke Amerika. Wakil menteri keuangan yang tidak dia sangka memperlancar ijinnya mendirikan bank. Dan tentu Dr Mochtar Riyadi yang kok bisa-bisanya mengambilnya jadi menantunya. Menarik juga bagian buku yang menceritakan saat Tahir berhasil mendirikan bank. Saat itu, mertunya gagal mendapat ijin serupa. Diceritakan bagaimana dia harus bersikap menghadapi keinginan mertuanya.  Sebuah pelajaran memadukan sikap hormat dan teguh yang piawai. Tapi, tulis Tahir, semua itu tidak ada artinya. Keberuntungannya menumpuk harta, memperbanyak asset dan memperbesar kekayaan itu kalah dengan keberuntungannya yang satu ini: mengawini Rosy. “Keberuntungan saya yang paling besar adalah bukan asset, bukan momen bisnis. Keberuntungan saya paling besar adalah Rosy”. “Dia mu’jizat paling besar dalam hidup saya”. Sayangnya, Rosy tidak tampak hadir saat buku ini diluncurkan di sebuah pesta besar di Hotel Shangrila, Jakarta, pekan lalu. Tidak juga mertua dan ipar-iparnya. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: